Banda Aceh – Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Otto Nur Abdullah, mengeluarkan peringatan keras terkait keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menetapkan empat pulau strategis di dekat Kabupaten Singkil, Aceh, masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara. Menurut Otto, kebijakan ini berpotensi besar memicu konflik baru di Tanah Rencong, mengancam stabilitas yang telah lama diupayakan.
Otto Nur Abdullah, dalam pernyataannya kepada Tempo pada Jumat, 13 Juni 2025, dengan tegas menyatakan bahwa keputusan Mendagri Tito Karnavian ibarat “membesarkan api dalam sekam.” Ia bahkan menyamakan langkah tersebut dengan “ngelas senjata Aceh yang sudah dipotong,” sebuah analogi kuat yang mengindikasikan adanya upaya memprovokasi atau membangkitkan kembali isu sensitif yang berpotensi melukai persatuan dan keutuhan wilayah.
Kritik Otto tidak berhenti di situ. Ia menyoroti keputusan Mendagri yang dinilainya ahistoris dan mengabaikan dimensi sejarah dalam penentuan batas wilayah. Kebijakan ini diambil berdasarkan hasil penelitian batas darat antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, serta Topografi Angkatan Darat, yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa keempat pulau tersebut berada di wilayah Sumatera Utara.
Seharusnya, kata Otto, Mendagri perlu meneliti lebih mendalam sebelum menetapkan status pulau-pulau tersebut. Ia menegaskan bahwa secara historis, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, selalu menjadi bagian dari wilayah Aceh. Salah satu bukti konkretnya adalah kesepakatan bersejarah yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, yang secara jelas mengidentifikasi garis batas laut dan mengonfirmasi bahwa keempat pulau ini merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh.
Dengan demikian, Otto berpendapat, keputusan yang diambil Mendagri tidak semestinya terkesan bermuatan politis atau atas kepentingan pihak tertentu. Ia bahkan menyuarakan kekhawatiran bahwa muncul anggapan Mendagri Tito lebih condong untuk memberikan “buah tangan” kepada Gubernur Sumatera Utara, Bobby, demi mendekatkan diri kepada Presiden Jokowi. “Jadi, Tito justru menjadi duri dalam daging bagi integrasi yang diupayakan Presiden Prabowo,” tandas sosiolog dari Universitas Syiah Kuala tersebut, menyoroti implikasi politik yang lebih luas dari keputusan ini.
Lebih lanjut, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Alumni Lemhanas Provinsi Aceh ini mendesak agar para pihak terkait segera mengambil langkah tegas. Ia menekankan pentingnya segera menggelar dialog meja bundar sebelum “api yang dihidupkan Tito meledak menjadi bola api yang bisa memercik satu sudut Indonesia.” Otto memperingatkan bahwa persoalan di Aceh, di samping isu-isu di Papua dan Maluku, dapat dengan mudah menyulut gerakan mahasiswa dan rakyat yang sudah merasa tidak puas terhadap hasil pembangunan rezim di masa Presiden Jokowi, menandakan potensi gejolak sosial yang signifikan.