Home / Travel / KKP Beberkan Biang Kerok Maraknya Tambang Ilegal di Pulau Kecil

KKP Beberkan Biang Kerok Maraknya Tambang Ilegal di Pulau Kecil

Jakarta – Ancaman serius terhadap kelestarian ekosistem bahari Indonesia, khususnya di pulau-pulau kecil dan kawasan konservasi seperti Raja Ampat, semakin nyata. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menguak akar permasalahan di balik maraknya aktivitas tambang pulau kecil: tumpang tindih regulasi dan kewenangan antar kementerian. Menurut Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP, inilah biang keladi utama yang memungkinkan praktik terlarang ini terus berjalan.

Secara teoritis, aktivitas tambang di pulau kecil secara tegas dilarang oleh peraturan yang berlaku. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya: izin tambang justru kerap terbit. “Dalam praktiknya, izin tetap keluar karena proses perizinannya saling tumpang tindih,” ungkap Aris dalam peluncuran riset bertajuk Surga Terakhir oleh Greenpeace Indonesia di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, pada Kamis, 12 Juni 2025. Pernyataan ini menyoroti celah hukum yang dimanfaatkan untuk eksploitasi.

Aris menegaskan, terbitnya izin tambang di Raja Ampat secara gamblang melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Regulasi ini secara eksplisit melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau dengan luas di bawah 2.000 kilometer persegi, apalagi jika masuk dalam kategori pulau sangat kecil. Raja Ampat sendiri, lanjutnya, memiliki banyak pulau yang dikategorikan sangat kecil, bahkan di bawah 100 kilometer persegi atau 10 ribu hektare, menjadikan ancaman pertambangan di wilayah ini kian krusial.

Sebagai lembaga yang berwenang memberikan izin atau rekomendasi pemanfaatan pulau kecil, khususnya untuk investasi, KKP menghadapi tantangan signifikan. Kewenangan ini, terang Aris, baru dapat dijalankan secara efektif sejak tahun 2023. Sebelumnya, prosesnya kerap berbenturan dengan kebijakan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, menghambat upaya perlindungan pulau-pulau kecil secara optimal.

Kompleksitas masalah tidak berhenti pada tumpang tindih kewenangan semata. Aris juga menguraikan kendala yang muncul dari sistem Online Single Submission (OSS). Melalui sistem ini, KKP hanya dapat memproses perizinan di area non-hutan. “Jika wilayahnya masuk kawasan hutan, maka otomatis menjadi urusan Kementerian Kehutanan,” jelas Aris, menunjukkan fragmentasi kewenangan yang membuka celah bagi izin tambang.

Kendati demikian, Aris optimis dengan penguatan posisi KKP pasca-revisi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Aturan baru ini menempatkan rekomendasi KKP sebagai langkah awal krusial dalam proses pemberian izin di wilayah pulau kecil, sebelum dilanjutkan ke kajian lingkungan dan penerbitan izin usaha. Namun, ironisnya, tantangan belum usai. Undang-Undang Mineral dan Batubara masih memungkinkan izin usaha tambang terbit mendahului pemeriksaan aspek lingkungan. Kondisi ini berpotensi menyebabkan operasi pertambangan di pulau-pulau kecil tetap berjalan tanpa rekomendasi vital dari KKP.

Melihat kompleksitas ini, Aris menekankan bahwa harmonisasi lintas regulasi dan kewenangan antar kementerian menjadi kunci esensial untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil dari kerusakan yang lebih parah. “Jika dibiarkan, regulasi-regulasi ini akan terus bertabrakan,” pungkasnya, menggarisbawahi urgensi reformasi tata kelola pertambangan.

Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memperkuat kekhawatiran ini, menunjukkan bahwa setidaknya 35 pulau kecil di Indonesia telah dikaveling untuk aktivitas pertambangan. Luas total lahan pertambangan tersebut mencapai 351.933 hektare, mencakup 195 izin tambang yang telah diterbitkan.

Menyikapi maraknya kasus seperti di Raja Ampat, Juru Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman, mendesak pemerintah untuk mencabut 195 izin tambang lainnya yang telah terbit di pulau-pulau kecil Indonesia. “Karena aturan hukumnya sudah jelas, bahwa aktivitas pertambangan pulau-pulau kecil tidak diperbolehkan,” tegas Alfarhat kepada Tempo pada Selasa, 10 Juni 2025. Lebih lanjut, ia menggarisbawahi bahwa larangan ini tidak hanya termaktub dalam undang-undang, tetapi juga diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang secara mutlak menyatakan bahwa pulau-pulau kecil tidak dapat ditambang sama sekali.

Sebagai respons awal, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, pada Selasa, 10 Juni lalu, telah mengumumkan pencabutan empat izin tambang di pulau kecil di kawasan Raja Ampat. Perusahaan-perusahaan yang terdampak adalah PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham. Namun, ancaman terhadap pulau-pulau kecil melampaui isu perizinan. Alfarhat dari Jatam memperingatkan bahwa penambangan di wilayah ini sangat rentan, berpotensi memperparah krisis iklim dan memicu kenaikan permukaan air laut. “Tidak tertutup kemungkinan dampak tambang di pulau-pulau kecil bisa menenggelamkan pulau tersebut,” ujarnya, menyoroti risiko eksistensial yang membayangi.

Meskipun Jatam telah gencar mengampanyekan isu pertambangan di pulau-pulau kecil lain seperti Wawonii, Obi, Kabaena, dan Sangihe, sorotan publik mayoritas masih tertuju pada Raja Ampat. Hal ini, menurut Alfarhat, dikarenakan status Raja Ampat sebagai kawasan pariwisata yang dilindungi UNESCO. Padahal, ia mengingatkan, selain Raja Ampat, masih ada 35 pulau lainnya yang menghadapi ancaman serupa dan membutuhkan perhatian serius.

Yogi Eka Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *