muthafuckingamers.com , JAKARTA — Kondisi pasar saham Indonesia saat ini menyoroti lebih dari sekadar kebijakan bursa, melainkan juga menyingkap persoalan struktural dalam ekonomi serta minimnya daya tarik fundamental emiten. Dinamika ini memicu pertanyaan serius tentang arah dan potensi pertumbuhan pasar modal Indonesia.
Pengamat pasar modal, Teguh Hidayat, mengungkapkan bahwa data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2021 menunjukkan jumlah investor berdasarkan Single Investor Identification (SID) sudah mencapai sekitar 7 juta. Lonjakan signifikan ini sebagian besar dipicu oleh kebijakan Work From Home (WFH) selama pandemi Covid-19, yang memberikan lebih banyak waktu bagi masyarakat untuk berinvestasi dari rumah. Namun, momentum positif tersebut sayangnya tidak berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
“Jadi tahun ini bukan benar-benar bertambah. Tahun 2021 itu sudah 7 juta juga. Sempat turun, lalu sekarang balik lagi. Artinya stagnan,” ujar Teguh kepada Bisnis, dikutip pada Jumat (20/6/2025). Stagnasi jumlah investor ini menjadi salah satu indikator utama lesunya pasar saham Indonesia.
Lebih lanjut, Teguh menilai target nilai transaksi harian saham sebesar Rp13,5 triliun pada tahun ini cenderung konservatif, terutama jika dibandingkan dengan capaian pada tahun 2021 yang pernah menyentuh Rp30 triliun per hari. Namun, alih-alih meningkat, angka tersebut justru terus menurun, mencerminkan kian rendahnya kepercayaan investor ritel terhadap pasar modal Indonesia. Dia menegaskan bahwa target transaksi harian BEI yang belum tercapai bukan semata karena kinerja buruk BEI, melainkan akibat stagnasi jumlah investor dan menurunnya minat pasar karena kinerja emiten yang kurang menggembirakan.
Meskipun BEI telah berinovasi dari sisi kebijakan, Teguh berpendapat bahwa tanpa perbaikan kualitas perusahaan dan perlindungan investor yang nyata, upaya BEI belum cukup untuk mengembalikan gairah pasar. “Sebenarnya mungkin problemnya bukan di BEI-nya. Mereka sudah banyak melakukan inovasi-inovasi. Cuma malah blunder. Mungkin bisa dibilang begitu ya. Jadi bukan dampak positif yang dihasilkan tapi justru jadi dampak negatif,” katanya.
Sebagai contoh, Teguh menyoroti kebijakan Full Call Auction (FCA) yang memungkinkan saham “mati” atau yang selama ini “stuck” di harga Rp50 dapat diperdagangkan kembali hingga turun ke harga Rp1. Kebijakan ini, meskipun meningkatkan transaksi, dinilai merugikan investor karena nilai saham mereka jatuh makin dalam. Selain itu, kualitas emiten yang melantai di bursa juga dinilai kurang menjanjikan, dengan banyaknya perusahaan yang melakukan IPO namun memiliki fundamental yang lemah, membuat investor enggan membeli saham-saham baru.
Salah satu kebijakan BEI yang dianggap “blunder” dan merugikan adalah penutupan kode broker dan informasi domisili investor. Kebijakan ini justru memukul kalangan trader aktif yang selama ini berkontribusi besar pada volume transaksi harian. Mereka kehilangan alat analisis esensial, yang pada akhirnya membuat pasar makin sepi. Oleh karena itu, Teguh merespons positif rencana BEI untuk membuka kembali kode broker dan domisili data transaksi lokal maupun asing, berharap langkah ini dapat meningkatkan nilai transaksi di pasar saham.
“BEI ini selama beberapa tahun terakhir banyak eksperimen. Tapi kenyataannya semua yang dilakukan itu ternyata malah bikin pasar saham jadi sepi. Ya sudah berarti jangan dilakukan lagi. Balik lagi saja ke kebijakan-kebijakan yang dulu, yang tidak aneh-aneh seperti sekarang,” imbuhnya, menyarankan agar BEI kembali pada kebijakan yang terbukti efektif.
Sebagai solusi jangka panjang, Teguh menekankan pentingnya peningkatan kinerja fundamental perusahaan-perusahaan publik, pembagian dividen yang lebih menarik, serta perbaikan kondisi ekonomi secara umum. “Jadi yang harus diperbaiki juga sebenarnya kinerja perusahaan, kinerja emiten. Dividen yang dibayarkan ke investor harus lebih besar, tetapi agar kinerja perusahaan-perusahaan lebih bagus ya berarti ekonominya juga harus bagus,” pungkasnya.
Selain itu, perbaikan perlindungan investor menjadi krusial, yang menurutnya belum optimal di Indonesia. “Kalau di Wall Street, ketika perusahaan bangkrut, aset dilikuidasi dan hasilnya dibagikan ke investor. Jadi meskipun mungkin investor tetap rugi. Tapi duitnya ga habis sama sekali. Masih ada sebagian yang balik. Di sini, kalau perusahaan bangkrut, investor kehilangan segalanya tanpa ada pengembalian sama sekali,” tegasnya, menyoroti perbedaan signifikan dalam mekanisme perlindungan investor.