muthafuckingamers.com – , Jakarta – Kabar baik bagi upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia! Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang gencar merevisi garis kemiskinan nasional. Langkah ini diambil karena metode perhitungan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sudah usang, yakni sejak tahun 1998. Arief menambahkan, kajian mendalam untuk menyusun metodologi baru ini telah berjalan intensif selama beberapa bulan terakhir.
“Selama enam bulan terakhir, saya bekerja sama dengan rekan-rekan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), juga dengan Bank Dunia, serta menjalin komunikasi dengan BPS untuk mempercepat revisi ini. Prosesnya sudah berjalan,” ujar Arief kepada Tempo pada Minggu, 8 Juni 2025, mengisyaratkan angin segar dalam penentuan standar kemiskinan di Indonesia.
Perbedaan Metode Bank Dunia dan BPS: Mengapa Revisi Penting?
Selama ini, BPS mengandalkan metode Cost of Basic Needs (CBN) untuk menentukan garis kemiskinan nasional. Metode ini berfokus pada perhitungan pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik pangan maupun non-pangan. Standar kebutuhan pangan yang digunakan adalah 2.100 kilokalori per kapita per hari. Sementara itu, kebutuhan non-pangan mencakup pengeluaran untuk perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Komponen non-pangan ini dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk keperluan esensial lainnya. Data diperoleh dari survei rumah tangga, terutama dari kelompok yang berada sedikit di atas garis kemiskinan, dengan tujuan mendapatkan gambaran pola konsumsi yang realistis namun tetap minimal.
Kelebihan utama metode CBN terletak pada kemampuannya untuk menangkap realitas lokal dengan lebih akurat. Penghitungan yang didasarkan pada harga dan pola konsumsi di wilayah tertentu memungkinkan perumusan kebijakan sosial yang lebih relevan dan tepat sasaran. Namun, metode ini memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat digunakan untuk perbandingan antarnegara. Selain itu, nilai garis kemiskinan yang dihasilkan seringkali dianggap terlalu rendah untuk mencerminkan kehidupan yang layak secara sosial.
Sebagai gambaran, pada September 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 595.242 per kapita per bulan, atau sekitar Rp 20.000 per hari. Dengan standar ini, angka kemiskinan Indonesia versi BPS adalah 8,57 persen, atau sekitar 24 juta jiwa.
Berbeda dengan BPS, Bank Dunia menggunakan metode Purchasing Power Parity (PPP) untuk mengukur kemiskinan. PPP adalah alat untuk menyesuaikan nilai mata uang antarnegara berdasarkan daya beli riil, bukan sekadar kurs pasar. Dengan kata lain, PPP berusaha mengukur seberapa banyak barang dan jasa yang dapat dibeli dengan satu dolar di berbagai negara setelah disesuaikan dengan tingkat harga lokal.
Sebagai ilustrasi, satu dolar AS mungkin hanya cukup untuk membeli sebungkus roti di negara maju. Namun, di negara berkembang, jumlah yang sama bisa digunakan untuk membeli dua atau tiga barang serupa. Dengan demikian, PPP menjadikan penghitungan garis kemiskinan lebih adil dalam perbandingan global, karena didasarkan pada daya beli aktual, bukan nilai tukar resmi yang seringkali berfluktuasi dan memberikan gambaran yang kurang tepat.
Bank Dunia menetapkan beberapa ambang garis kemiskinan berdasarkan PPP: USD 2,15 per hari untuk negara berpendapatan rendah, USD 3,65 untuk negara berpendapatan menengah bawah, dan USD 6,85 PPP per kapita per hari untuk negara berpendapatan menengah atas (seperti Indonesia). Garis kemiskinan ini disesuaikan agar mencerminkan standar hidup minimum yang seragam di seluruh dunia. Angka-angka ini dikalibrasi menggunakan survei harga internasional dan data konsumsi rumah tangga.
Kelebihan metode PPP adalah kemampuannya untuk membandingkan kondisi kemiskinan antarnegara secara konsisten. Hal ini sangat krusial dalam konteks kebijakan global, bantuan internasional, dan evaluasi target pembangunan berkelanjutan (SDGs). Namun, kelemahannya adalah PPP bersifat sangat umum dan kurang mempertimbangkan konteks lokal, seperti variasi harga barang antardaerah, perbedaan budaya konsumsi, atau tingkat akses terhadap layanan dasar.
Anastasya Lavenia dan Haura Hamidah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Kenapa Standar Kemiskinan Indonesia Perlu Diperbarui